Jep Kuphi Ngak Bek Pungo

caffeine-coffee-cupSuara seruputan minuman kopi mengalir hangat ditenggorokan disambung dengan suara gelas kaca berpadu dengan piring kecil di pagi hari. Belum lagi aroma kopi menyeruak, menembus setiap sudut dapur dan ruangan warung kopi. Ditambah lagi, suara tuangan kopi di saringan yang berulang-ulang menambah nikmat dan bertambah nafsu untuk segera menikmati secangkir kopi hangat.

Memang banyak cara menikmati secangkir kopi hitam hangat atau pun panas. Ada yang pagi-pagi sudah sedia kursi di warung kupi favorit. Ada juga yang menikmati secangkir kopi di rumah saja, setelah disuguhi oleh istri tercinta, sebelum berangkat kerja mencari nafkah. Ada juga yang menikmati di rumah atau di kos, setelah sebelumnya memesan kepada barista untuk dibungkus saja. Ada juga yang membeli kopi hitam seribu per sachetnya.

Tradisi minum kopi di bumoe Seuramoe Mekkah ini sudah berlangsung cukup panjang. Sehingga pantas saja jika ada ungkapan lucu dalam bahasa Aceh, “Jep kuphie dile ngak bek pungo.” Entah darimana ungkapan ini berasal. Namun, ungkapan ini sudah sering kita dengar di kehidupan sehari-hari. Akibat tradisi jep kuphi beungoh (minum kopi di pagi hari) yang telah melekat erat dalam kebiasaan rakyat Aceh sebelum mengawali aktivitas di pagi hari. Bahkan, mungkin tradisi ini juga berkembang di daerah lain di luar Provinsi Aceh.
Jika ingin meluangkan waktu kita sebentar, maka akan kita temukan bila sejarah minum kopi di Aceh berhubungan langsung jalinan persaudaraan dengan Kekhalifahan Utsmaniyah di Turki di masa silam.

Salah satu laman di dunia maya mengatakan kebiasaan minum kopi orang Aceh diduga berasal dari perkembangan sufisme di negeri Sultan Iskandar Muda ini. Dimana saat itu, orang-orang sufi ini minum kopi untuk menghilangkan kantuk saat mereka beribadah dan melakukan kajian di malam hari. Sufisme sendiri berkembang di Aceh karena dibawa oleh ulama-ulama yang berasal dari kekhilafahan Usmaniyah di Turki. Saat itu, disebutkan minum kopi telah menjadi kebiasaan rakyat Turki. Kebiasaan ini kemudian menjalar hingga ke Eropa, saat negara-negara Barat ini berhasil menaklukkan salah satu benteng Usmaniyah dan mengambil bersak-sak karung goni berisi biji kopi yang kemudian mereka olah menjadi minuman Capuccino.

Dahulu, orang Aceh minum kopi untuk menemani mereka mendengarkan hikayat yang dibacakan di warung kopi. Hal ini terjadi sekitar tahun 1970-an seperti yang dituturkan oleh peneliti sejarah hubungan Aceh dan Turki Utsmani, Prof M Hasbi Amiruddin. Hadirnya warung kopi di Aceh, aku Prof Hasbi, erat kaitannya dengan hubungan Turki dengan Aceh kala itu. Hal ini wajar, mengingat peradaban Islam, utamanya di Turki, telah menjadi pionir yang menginspirasi dan mempengaruhi berbagai kebudayaan di dunia. Dampak pengaruh kebudayaan Kekhalifahan Turki Utsmaniyah atau Ottoman ini bagi peradaban masyarakat Aceh Darussalam juga tampak dari hadirnya warung kopi di nanggroe, dimana Aceh meniru 100 persen warung kopi yang ada di Turki pada abad 19.

Pada tahun 1475 atau sekitar abad 13 M, warung kopi di Kekhalifahan Utsmaniyah disebut Kiva Han. Namun, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa lahirnya warung kopi-warung kopi di Serambi Mekkah tidak terlepas dari kedatangan etnis Tionghoa yang dikatakan juga memiliki kebiasaan minum kopi, seperti yang ditulis oleh Andreas Maryoto dan Mahdi Muhammad dalam tulisan panjangnya, “Antara Warung Kopi Aceh dan Ottoman.”

Hadirnya kebiasaan minum kopi di masyarakat Aceh ini pada abad 13 atau hingga setelahnya itu secara jelas telah menepis tudingan yang mengatakan bahwa kebiasaan minum kopi rakyat Aceh dibawa oleh Kolonial Belanda pada abad ke-18 karena saat itu disini sedang menyebar wabah penyakit diare, seperti yang diungkapkan oleh Gubernur Belanda untuk Aceh, Gubernur Swart.

Terkait informasi tentang kebiasaan minum kopi rakyat Aceh yang diungkapkan Gubernur Swart ini dijelaskan oleh Sejarawan dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Drs. Mawardi Umar, M.Hum., M.A. Laporan Swart ini menyebutkan bahwa wabah diare menyebar saat ia memerintah Aceh Darussalam pada kurun waktu 1900-an. Penyakit diare ini tersebar karena saat itu masyarakat Aceh, ungkapnya, tidak pernah memasak air minum yang diambil dari sumur. Air yang tidak dimasak inilah yang menyebabkan rakyat Aceh ditimpa penyakit diare, begitu penuturan Gubernur Swart dalam laporannya. Namun, bila melihat tulisan Andreas Maryoto dan Mahdi Muhammad, kita bisa melihat jauh sebelum Gubernur Swart memperkenalkan masak air, orang Aceh sudah duluan memasak air untuk diminum. Hal ini karena orang Aceh sudah duluan gandrung kopi diakibatkan oleh pengaruh Kekhilafahan Utsmaniyah di Aceh.

Terlepas dari semua kisah sejarah diatas, tak dapat kita pungkiri, hingga hari ini, tradisi minum kopi ini telah menjadi bagian kebudayaan masyarakat Aceh. Bedanya, bila dahulu minum kopi agar tidak mengantuk saat qiyamul lail atau mendengar hikayat malam. Tetapi kini, minum kopi dalam rangka menambah konsentrasi saat mengawali aktivitas di pagi hari. Bahkan ada yang minum kopi tak mengenal waktu. Mungkin dari kebiasaan inilah kalimat, “Jep kuphie dile ngak bek pungo (Minum kopi dulu biar nggak gila)” itu bermula. Wallahu a’lam bisshawwab.

Kiban, kaleuh neu jep kuphi beungoeh nyo? (mugi/notmisterjekyll)

Tinggalkan komentar